“Kapan nikah ?”
Tipikal pertanyaan yang sering saya terima akhir-akhir ini dan hanya dibalas dengan senyam senyum bingung. Namun, saya mulai concern dengan salah satu target ini karena beberapa alasan, salah satunya umur.
Loh, kok umur ?
Saya sadar
kalau sekarang sudah tidak muda lagi dan sudah termasuk matang untuk menikah dari
sudut pandang umur.
Alasan
lain, saya ingat betul beberapa tahun lalu pernah berdoa untuk dipertemukan dan
dipersatukan dengan jodoh di usia 27 tahun. Saya waktu itu berhitung dan memperkirakan kalau
di usia 27, Insha Allah saya akan bisa menjadi pribadi yang lebih matang secara psikis,
pendidikan PT juga terselesaikan, dan sudah bisa bekerja sebagai salah satu usaha untuk
menjadi bermanfaat.
And that’s happened. Alhamdulillah, I got it.
Dan kurang
lebih dua bulan lagi saya sudah memasuki target usia nikah yang saya buat sendiri.
Tapi tentunya, ini bisa terwujud jika Allah SWT berkehendak.
Membahas masalah jodoh jadi salah satu topik yang membuat saya sering merenung. Orang tua mengarahkan untuk mencari sendiri agar yang dipilih sudah sesuai keinginan hati. Karena beberapa tawaran yang datang pada mereka kurang cocok untuk saya.
Mencari sendiri menjadi PR besar karena saya tipikal wanita yang agak tertutup pada lawan
jenis. Sepertinya perilaku ini sudah menjadi karakter. Setiap bertemu laki-laki
yang dikagumi pasti akan salah tingkah. Karenanya saya memilih untuk menjauh.
Memupuk kekaguman hanya dalam diam. Baru akhir-akhir ini kagum diam-diam disalurkan
dalam doa.
Menyebut
nama dalam doa tapi tetap meminta yang terbaik.
Kalau jodoh
didekatkan dan dimudahkan.
Namun, jika
bukan jodoh maka dijauhkan dan segera digantikan dengan yang terbaik
pilihan-Nya.
Karena
pilihan-Nya tidak akan pernah salah.
Beberapa
teman pernah bertanya apa mau coba pacaran ?
Ketika hal
itu ditanyakan pada masa labil saya, sejujurnya kadang sempat goyah dan ingin
seperti teman-teman lain yang diperhatikan pacarnya. Tapi keyakinan dalam hati
kalau pacaran setelah nikah itu akan jauh lebih baik Alhamdulillah masih terpelihara hingga sekarang.
Mengapa ?
Karena saya
menyaksikan dan punya role model nyata dari kebahagiaan pernikahan tanpa
pacaran.
Siapa role
modelnya ?
Orang tua
saya sendiri. They inspired me a lot.
Mama saya
baru pertama kali melihat wajah suaminya dengan baik ketika di tempat make up a.k.a salon untuk persiapan akad. Agak seram sih, masa iya bisa yakin nikah tanpa melihat wajah calon suami. Uniknya, dari 4 bersaudara, hanya mama saya saja yang menikah tanpa pacaran.
But, that’s my mom. Dan mungkin ini yang
dikatakan jodoh. Beliau menerima pinangan bapak saya karena sudah mendapatkan
informasi dari beberapa orang bahwa akhlak calon suaminya sangat baik. Sepupu bapak
saya juga sempat membisikkan ke mama kalau ia beruntung dan tidak akan menyesal
menikah dengan bapak karena memang beliau sebaik itu. I feel that.
Dan tentu
saja, jika dipasrahkan kepada Sang Maha Pemilik Takdir maka tidak ada yang akan
dikecewakan.
Mama selalu
bercerita kepada saya hingga sekarang bagaimana beruntungnya ia memiliki suami
seperti bapak. Sampai agak hiperbola kalau lelaki yang lebih baik dari bapak
itu ya cuman Rasulullah Muhammad SAW.
Saya melihat kalau bapak adalah menantu kesayangan nenek saya karena memang bapak sangat perhatian kepada mereka. Benar-benar seperti orang tuanya sendiri. Kalau mama mulai jarang mengunjungi orang tuanya, maka bapak yang akan mengingatkan dan mengajak untuk mengunjungi beliau.
Mama selalu mendoakan saya agar bisa bersama dan dipilih oleh lelaki yang baik dan cocok untuk saya seperti kisahnya.
Pernikahan
merupakan ibadah terlama saya nantinya. Karena itu, saya ingin memulai ibadah
ini dengan sesuatu yang diridhai dan diberkahi oleh Sang Pemlik Dunia. Sekarang
ini, saya masih proses belajar dan memantaskan diri menjadi orang yang lebih
baik.
Dalam pernikahan
pasti akan ada masalah karena memang menyatukan dua orang yang betul betul
berbeda bukan hal mudah. Namun, saya punya keyakinan jika diniatkan untuk lebih
mendekatkan diri ke Sang Maha Pencipta maka Insha Allah bisa terlewati dan
menjadi ladang pahala.
Teruntuk
pendamping hidupku kelak.
Aku mengagumi
Khadijah yang secara berani, baik, dan sangat anggun meminta Rasul menjadi suaminya.
Namun, dengan
karakterku, aku memilih menjadi seperti anak beliau, Fatimah, yang mencintai Ali
dalam diam. Hingga waktunya tiba. Ketika Ali dan Fatimah sudah menjadi versi
terbaik mereka. Allah memudahkan semuanya. Semudah itu Allah membolak-balik
hati manusia dan menjadikan nyata sesuatu yang awalnya hanya disemogakan.
Maka, aku
akan berusaha menjadi versi terbaik diriku.
Mendekatkan
diri kepada Sang Pemilik Takdir.
Hingga waktunya tiba, aku bisa pantas untuk membersamaimu di dunia dan di akhirat kelak.
Insha Allah.
Semoga
kaupun begitu.
-RE
Ps : Saya menulis ini sambil mendengarkan lagu dari Muezza (Ketetapan yang Indah dan Seperti yang kau jalani)